Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan segera merayakan hari jadinya yang ke-78. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, perayaan puncak kali ini akan dilaksanakan bukan di Istana Kepresidenan, melainkan di lapangan Monumen Nasional (Monas) pada tanggal 5 Oktober nanti.
Alasan Monas terpilih sebagai lokasi perayaan adalah karena luasnya area yang memungkinkan TNI untuk menampilkan alat utama sistem senjata (alutsista) dan memudahkan masyarakat untuk menghadiri dan menyaksikan perayaan tersebut.
Monas bukan hanya sebuah monumen dengan lapangan luas; ia merupakan lambang dari kemenangan bangsa Indonesia melawan penjajahan.
Monumen ini didirikan berdasarkan gagasan dari Presiden Soekarno, dengan pembangunannya dimulai pada bulan Agustus tahun 1959.
Butuh waktu selama 16 tahun untuk menyelesaikan pembangunan monumen yang kaya akan sejarah ini, sebelum akhirnya diresmikan dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975.
Puncak Monas dihiasi dengan lidah api yang dilapisi lembaran emas, simbol dari semangat perjuangan yang tak kunjung padam dari rakyat Indonesia.
Fakta Menarik yang Mungkin Belum Banyak Diketahui
Monumen Nasional (Monas), simbol kebanggaan Jakarta, menyimpan sejumlah fakta menarik yang mungkin belum banyak diketahui. Berikut adalah rangkuman dari beberapa sumber tentang keunikan dari Destinasi Wisata Jakarta ini.
1. Diinisiasi oleh Presiden Soekarno
Gagasan untuk membangun Monas dilontarkan oleh Presiden Soekarno, yang bermimpi untuk memiliki sebuah monumen nasional yang bisa sejajar dengan Menara Eiffel di Paris.
Pembangunan Monas dimulai pada Agustus 1959 di sebuah lahan seluas 80 hektar dengan ketinggian mencapai 132 meter. Dua arsitek terkemuka, Soedarsono dan Frederich Silaban, dipercaya untuk mewujudkan mimpi tersebut menjadi kenyataan.
2. Kontroversi di Balik Pembangunannya
Monas yang menjulang tinggi sebagai salah satu dari beberapa proyek ambisius Presiden Soekarno, seperti Gelora Bung Karno dan berbagai tugu lainnya, tidak luput dari kontroversi.
Banyak yang mengkritik pembangunan Monas sebagai bentuk pemborosan, terutama mengingat Indonesia saat itu masih dalam proses pemulihan pasca-kemerdekaan dan membutuhkan alokasi dana yang besar untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan dan kritik, pembangunan Monas tetap dilanjutkan dan akhirnya diresmikan oleh Presiden Soekarno untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975.
3. Proses Desain Monas Melalui Sayembara
Konsep desain Monas berhasil diperoleh melalui sebuah sayembara yang dilaksanakan pada 17 Februari 1955, dengan partisipasi dari 51 peserta. Awalnya, desain karya F.
Silaban terpilih sebagai pemenang, namun karena adanya beberapa hambatan, desain tersebut akhirnya tidak dapat diimplementasikan.
Sebuah sayembara kedua pun digelar pada 10 Mei 1960, di mana para juri mencari sebuah desain yang dapat mencerminkan identitas dan kepribadian Indonesia.
Pada sayembara ini, F. Silaban bersama dengan arsitek Soedarsono berhasil memenangkan kompetisi tersebut, memberikan bentuk nyata pada Monas seperti yang kita kenal sekarang.
4. Lidah Api Monas yang Dilapisi Emas 50 Kg
Salah satu detail menarik dari Monas adalah puncaknya yang berbentuk api dan dilapisi dengan emas seberat 50 kilogram. Pada awalnya, emas yang digunakan untuk melapisi puncak Monas hanya beratnya 32 kilogram.
Namun, pada tahun 1995, lapisan emas tersebut ditingkatkan menjadi 50 kilogram untuk menambah kemegahan dan simbolisme.
Menariknya, emas yang digunakan adalah sumbangan dari berbagai pihak dari seluruh Indonesia, termasuk sumbangan signifikan seberat 28 kilogram emas dari seorang saudagar Aceh bernama Teuku Markam.
Emas tersebut diperoleh dari tambang emas di Desa Lebong Tandai, Bengkulu Utara, yang menandakan bahwa Monas tidak hanya merupakan simbol kebanggaan nasional, tapi juga hasil dari kontribusi dan dukungan seluruh masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Rekomendasi Tempat Wisata di Tangerang yang Populer dan Lagi Hits
5. Perjalanan Nama Monumen Nasional
Monumen Nasional, yang kini dikenal luas sebagai Monas, telah mengalami beberapa perubahan nama sejak awal pembangunannya.
Awalnya, area ini dikenal sebagai Lapangan Gambir, kemudian berubah menjadi Lapangan Ikada, dilanjutkan dengan nama Lapangan Merdeka, dan setelah itu menjadi Lapangan Monas serta Taman Monas.
Perubahan-perubahan nama ini mencerminkan evolusi fungsi dan makna tempat ini dalam sejarah Jakarta dan Indonesia.
6. Simbolisme Kesuburan dan Kelembutan dalam Monas
Uniknya, Monas tidak hanya sekedar monumen, tetapi juga mengandung simbolisme yang mendalam.
Monas melambangkan Lingga dan Yoni, di mana Lingga merupakan simbol kejantanan yang berhubungan dengan kesuburan, sedangkan Yoni adalah simbol keperempuanan yang merepresentasikan kelembutan.
Konsep ini berasal dari Presiden Soekarno, yang ingin menciptakan sebuah monumen yang mencerminkan keseimbangan. Bentuk Monas yang kerap diibaratkan sebagai alu dan lesung pun menegaskan simbolisme kesuburan dan siklus kehidupan dalam budaya Indonesia.
7. Dimensi Monas dan Kaitannya dengan Tanggal Kemerdekaan
Monas dirancang dengan ukuran yang penuh makna. Tinggi pelataran cawan dari dasar monumen adalah 17 meter, yang merefleksikan tanggal kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus.
Lebih lanjut, tinggi antara ruang museum sejarah ke dasar cawan monumen adalah 8 meter, yang terdiri dari 3 meter di bawah tanah dan 5 meter tangga menuju dasar cawan, melambangkan bulan kemerdekaan, Agustus, yang merupakan bulan ke-8 dalam kalender.
Sementara itu, luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, dengan dimensi 45 x 45 meter, mengingatkan pada tahun kemerdekaan, 1945.
Setiap detail dari Monas dirancang untuk membangkitkan semangat nasionalisme serta menghormati momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Monumen Nasional tidak hanya berdiri sebagai ikon ibu kota Jakarta, tetapi juga sebagai lambang kebanggaan, semangat perjuangan, dan kesuburan bangsa Indonesia. Setiap sudut dan detailnya mengisahkan tentang perjalanan panjang bangsa ini dalam mencapai kemerdekaan dan membangun identitasnya sendiri.
Monas mengajak setiap pengunjung untuk mengenang kembali dan merenungkan nilai-nilai luhur yang telah membentuk negara ini, sekaligus menginspirasi generasi mendatang untuk terus melanjutkan perjuangan dalam menjaga dan memajukan Indonesia.